Diskusi FIM, Raih Inspirasi dibalik sederhananya Diskusi
"
Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan pemberitaan yang kita
saksikan di berbagai media masa, tentang bagaimana fenomena miris dunia
pendidikan di negeri kita tercinta. Mulai dari kisah sejumlah penerus bangsa
yang harus rela kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikkan yang layak,
kisah guru honorer yang sampai saat ini tak jelas bagaimana nasibnya, kisah
ketangguhan anak pedalaman yang harus melawan deras arus
sungai...
Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan pemberitaan yang kita
saksikan di berbagai media masa, tentang bagaimana fenomena miris dunia
pendidikan di negeri kita tercinta. Mulai dari kisah sejumlah penerus bangsa
yang harus rela kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikkan yang layak,
kisah guru honorer yang sampai saat ini tak jelas bagaimana nasibnya, kisah
ketangguhan anak pedalaman yang harus melawan deras arus
sungai dan menempuh perjalan belasan kilometer untuk sampai di sekolah, hingga kisah miris anak bangsa yang harus menempuh pendidikan dengan kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan.
sungai dan menempuh perjalan belasan kilometer untuk sampai di sekolah, hingga kisah miris anak bangsa yang harus menempuh pendidikan dengan kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan.
Hal itu tak hanya membuat saya iba, tapi sekaligus menyadarkan
saya, betapa saya adalah seorang mahasiswa yang tidak bisa bersyukur. Terkadang saya begitu malu terhadap diri saya
sendiri, yang mungkin sampai detik ini tidak dapat menerima kenyataan bahwa
saya gagal masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang saya cita-citakan. Kegagalan itu selalu
membayang-bayangi saya. Entah karena gengsi atau karena keinginan masuk PTN
favorit yang begitu tinggi , saya sulit menerima kenyataan bahwa saat ini, saya
adalah mahasiswa dari sebuah Universitas Islam Negeri yang lokasinya jauh dari
keramaian. Hal itu jelas mempengaruhi semangat saya dalam belajar dan juga
membuat saya menjadi mahasiswa yang tak cakap mencari teman.
Tuhan memang adil, segala fenomena yang memprihatinkan tak hanya
untuk kita beri simpati, tapi menunjukkan betapa lebih beruntungnya kita
dibanding anak-anak dari pedalaman tadi. Adalah FIM, Forum Intelektual Muda
yang mungkin forum kampus pertama yang saya ikuti yang menyadarkan saya bahwa
saya orang yang sangat beruntung. Bisa masuk perguruan tinggi negeri, bisa kuliah
dengan sarana yang memadai. Baru sekali saya mengikuti perkumpulan itu, tapi
sudah banyak hikmah yang bisa saya ambil. Terlebih karena pada saat saya
mengikuti kumpul perdana, dihadirkan seorang mahasiswa UIN Bandung semester 2
jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang membawa cerita menarik. Usianya
mungkin tak jauh dari usia saya, tapi dengan umur yang masih bisa dikatakan
muda itu dia telah bisa menjadi seorang kepala sekolah. Kang Agus, begitu
beliau biasa disapa. Memang, dia bukan kepala sekolah dari sekolahan favorit
atau bonafit di kota Bandung. Tapi justru itu yang mengagumkan, dia adalah
seorang kepala sekolah dari sebuah SMP terbuka yang ada di Kabupaten bandung.
Di mana ia dan teman-temannya yang sesama mahasiswa lah yang turun langsung
menjadi tenaga pendidik. Namun ironisnya adalah, bangunan sekolah tersebut
kondisinya sangat jauh dari yang namanya bangunan sekolah pada umumnya.
Jangankan AC atau keramik yang mengkilat, bangunan tenpat KBM berlangsung pun
hanya terbuat dari bambu. Itu sudah sangat jauh lebih layak, mengingat beberapa
waktu silam, sekolah tersebut hanya berupa balai-balai beratapkan daun jerami.
Betapa terkejutnya saya, selama ini yang saya tahu bahwa kisah
miris tentang pendidikan hanya berasal dari pedalaman saja. Tapi ternyata di
Jawa Barat pun, yang notabenenya merupakan provinsi yang bisa dibilang maju dengan
banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kompeten , tempat di mana
begitu banyak sekolah dan Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, kasus miris
tadi masih ditemukan. Dengan mendengar pemparan tentang bagaimana keadaan
sekolah dan murid-muridnya dari kang Agus, saya bisa mengambil kesimpulan,
bahwa dengan segala keterbatasan, para murid dari SMP terbuka itu tidak pernah
mengeluh. Mereka justru menjadikan keterbatasan itu sebagai motivasi. Mereka
yang hanya sekolah di tempat yang nampak seperti “saung” itu pun bahkan bisa
berprestasi.
Selain dari semangat mereka yang menyadarkan dan memotivasi saya
untuk lebih bersukur dan lebih baik dalam belajar, kesuksesan Kang Agus dan
kawan-kawan yang terjun untuk mengabdi dalam dunia pendidikan begitu
menginspirasi saya. Mungkin belum ada kontribusi saya berikan terhadap dunia
pendidikan. Saya mungkin hanya bisa mengungkapkan pemikiran dan kepedulian saya
terhadap pendidikan sebatas melalui
tulisan maupun dengan film bertemakan pendidikan yang pernah saya garap, yang
mungkin itu semua tidak berdampak langsung terhadap pendidikan kita.
Semua itu begitu menyadarkan saya. Betapa kita harus selalu
bersyukur dan pandai mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Betapa kita harus
memberikan kontribusi yang nyata, bukan hanya sekedar keluhan dan kritikan
semata. Dan yang lebih penting, peristiwa dan cerita di atas menyadarkan saya,
bahwa yang menjadi persoalan adalah bukan di mana tempat kita belajar, tetapi
bagaimana kita belajar agar stigma penerus bangsa, bukan hanya sebuah kata
tetapi benar-benar melekat pada diri kita .
By : Erlyn
By : Erlyn
0 komentar:
Posting Komentar