Blogger news

Minggu, 14 April 2013

Diskusi FIM, Raih Inspirasi dibalik sederhananya Diskusi

"
Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan pemberitaan yang kita saksikan di berbagai media masa, tentang bagaimana fenomena miris dunia pendidikan di negeri kita tercinta. Mulai dari kisah sejumlah penerus bangsa yang harus rela kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikkan yang layak, kisah guru honorer yang sampai saat ini tak jelas bagaimana nasibnya, kisah ketangguhan anak pedalaman yang harus melawan deras arus
sungai dan menempuh perjalan belasan kilometer untuk sampai di sekolah, hingga kisah miris anak bangsa yang harus menempuh pendidikan dengan kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan.
Hal itu tak hanya membuat saya iba, tapi sekaligus menyadarkan saya, betapa saya adalah seorang mahasiswa yang tidak bisa bersyukur.  Terkadang saya begitu malu terhadap diri saya sendiri, yang mungkin sampai detik ini tidak dapat menerima kenyataan bahwa saya gagal masuk ke Perguruan Tinggi Negeri  yang saya cita-citakan. Kegagalan itu selalu membayang-bayangi saya. Entah karena gengsi atau karena keinginan masuk PTN favorit yang begitu tinggi , saya sulit menerima kenyataan bahwa saat ini, saya adalah mahasiswa dari sebuah Universitas Islam Negeri yang lokasinya jauh dari keramaian. Hal itu jelas mempengaruhi semangat saya dalam belajar dan juga membuat saya menjadi mahasiswa yang tak cakap mencari teman. 
Tuhan memang adil, segala fenomena yang memprihatinkan tak hanya untuk kita beri simpati, tapi menunjukkan betapa lebih beruntungnya kita dibanding anak-anak dari pedalaman tadi. Adalah FIM, Forum Intelektual Muda yang mungkin forum kampus pertama yang saya ikuti yang menyadarkan saya bahwa saya orang yang sangat beruntung. Bisa masuk perguruan tinggi negeri, bisa kuliah dengan sarana yang memadai. Baru sekali saya mengikuti perkumpulan itu, tapi sudah banyak hikmah yang bisa saya ambil. Terlebih karena pada saat saya mengikuti kumpul perdana, dihadirkan seorang mahasiswa UIN Bandung semester 2 jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang membawa cerita menarik. Usianya mungkin tak jauh dari usia saya, tapi dengan umur yang masih bisa dikatakan muda itu dia telah bisa menjadi seorang kepala sekolah. Kang Agus, begitu beliau biasa disapa. Memang, dia bukan kepala sekolah dari sekolahan favorit atau bonafit di kota Bandung. Tapi justru itu yang mengagumkan, dia adalah seorang kepala sekolah dari sebuah SMP terbuka yang ada di Kabupaten bandung. Di mana ia dan teman-temannya yang sesama mahasiswa lah yang turun langsung menjadi tenaga pendidik. Namun ironisnya adalah, bangunan sekolah tersebut kondisinya sangat jauh dari yang namanya bangunan sekolah pada umumnya. Jangankan AC atau keramik yang mengkilat, bangunan tenpat KBM berlangsung pun hanya terbuat dari bambu. Itu sudah sangat jauh lebih layak, mengingat beberapa waktu silam, sekolah tersebut hanya berupa balai-balai beratapkan daun jerami.
Betapa terkejutnya saya, selama ini yang saya tahu bahwa kisah miris tentang pendidikan hanya berasal dari pedalaman saja. Tapi ternyata di Jawa Barat pun, yang notabenenya merupakan provinsi yang bisa dibilang maju dengan banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kompeten , tempat di mana begitu banyak sekolah dan Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, kasus miris tadi masih ditemukan. Dengan mendengar pemparan tentang bagaimana keadaan sekolah dan murid-muridnya dari kang Agus, saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa dengan segala keterbatasan, para murid dari SMP terbuka itu tidak pernah mengeluh. Mereka justru menjadikan keterbatasan itu sebagai motivasi. Mereka yang hanya sekolah di tempat yang nampak seperti “saung” itu pun bahkan bisa berprestasi. 
Selain dari semangat mereka yang menyadarkan dan memotivasi saya untuk lebih bersukur dan lebih baik dalam belajar, kesuksesan Kang Agus dan kawan-kawan yang terjun untuk mengabdi dalam dunia pendidikan begitu menginspirasi saya. Mungkin belum ada kontribusi saya berikan terhadap dunia pendidikan. Saya mungkin hanya bisa mengungkapkan pemikiran dan kepedulian saya terhadap pendidikan  sebatas melalui tulisan maupun dengan film bertemakan pendidikan yang pernah saya garap, yang mungkin itu semua tidak berdampak langsung terhadap pendidikan kita.
Semua itu begitu menyadarkan saya. Betapa kita harus selalu bersyukur dan pandai mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Betapa kita harus memberikan kontribusi yang nyata, bukan hanya sekedar keluhan dan kritikan semata. Dan yang lebih penting, peristiwa dan cerita di atas menyadarkan saya, bahwa yang menjadi persoalan adalah bukan di mana tempat kita belajar, tetapi bagaimana kita belajar agar stigma penerus bangsa, bukan hanya sebuah kata tetapi benar-benar melekat pada diri kita .

By : Erlyn
"
Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan pemberitaan yang kita saksikan di berbagai media masa, tentang bagaimana fenomena miris dunia pendidikan di negeri kita tercinta. Mulai dari kisah sejumlah penerus bangsa yang harus rela kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikkan yang layak, kisah guru honorer yang sampai saat ini tak jelas bagaimana nasibnya, kisah ketangguhan anak pedalaman yang harus melawan deras arus
sungai dan menempuh perjalan belasan kilometer untuk sampai di sekolah, hingga kisah miris anak bangsa yang harus menempuh pendidikan dengan kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan.
Hal itu tak hanya membuat saya iba, tapi sekaligus menyadarkan saya, betapa saya adalah seorang mahasiswa yang tidak bisa bersyukur.  Terkadang saya begitu malu terhadap diri saya sendiri, yang mungkin sampai detik ini tidak dapat menerima kenyataan bahwa saya gagal masuk ke Perguruan Tinggi Negeri  yang saya cita-citakan. Kegagalan itu selalu membayang-bayangi saya. Entah karena gengsi atau karena keinginan masuk PTN favorit yang begitu tinggi , saya sulit menerima kenyataan bahwa saat ini, saya adalah mahasiswa dari sebuah Universitas Islam Negeri yang lokasinya jauh dari keramaian. Hal itu jelas mempengaruhi semangat saya dalam belajar dan juga membuat saya menjadi mahasiswa yang tak cakap mencari teman. 
Tuhan memang adil, segala fenomena yang memprihatinkan tak hanya untuk kita beri simpati, tapi menunjukkan betapa lebih beruntungnya kita dibanding anak-anak dari pedalaman tadi. Adalah FIM, Forum Intelektual Muda yang mungkin forum kampus pertama yang saya ikuti yang menyadarkan saya bahwa saya orang yang sangat beruntung. Bisa masuk perguruan tinggi negeri, bisa kuliah dengan sarana yang memadai. Baru sekali saya mengikuti perkumpulan itu, tapi sudah banyak hikmah yang bisa saya ambil. Terlebih karena pada saat saya mengikuti kumpul perdana, dihadirkan seorang mahasiswa UIN Bandung semester 2 jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang membawa cerita menarik. Usianya mungkin tak jauh dari usia saya, tapi dengan umur yang masih bisa dikatakan muda itu dia telah bisa menjadi seorang kepala sekolah. Kang Agus, begitu beliau biasa disapa. Memang, dia bukan kepala sekolah dari sekolahan favorit atau bonafit di kota Bandung. Tapi justru itu yang mengagumkan, dia adalah seorang kepala sekolah dari sebuah SMP terbuka yang ada di Kabupaten bandung. Di mana ia dan teman-temannya yang sesama mahasiswa lah yang turun langsung menjadi tenaga pendidik. Namun ironisnya adalah, bangunan sekolah tersebut kondisinya sangat jauh dari yang namanya bangunan sekolah pada umumnya. Jangankan AC atau keramik yang mengkilat, bangunan tenpat KBM berlangsung pun hanya terbuat dari bambu. Itu sudah sangat jauh lebih layak, mengingat beberapa waktu silam, sekolah tersebut hanya berupa balai-balai beratapkan daun jerami.
Betapa terkejutnya saya, selama ini yang saya tahu bahwa kisah miris tentang pendidikan hanya berasal dari pedalaman saja. Tapi ternyata di Jawa Barat pun, yang notabenenya merupakan provinsi yang bisa dibilang maju dengan banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kompeten , tempat di mana begitu banyak sekolah dan Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, kasus miris tadi masih ditemukan. Dengan mendengar pemparan tentang bagaimana keadaan sekolah dan murid-muridnya dari kang Agus, saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa dengan segala keterbatasan, para murid dari SMP terbuka itu tidak pernah mengeluh. Mereka justru menjadikan keterbatasan itu sebagai motivasi. Mereka yang hanya sekolah di tempat yang nampak seperti “saung” itu pun bahkan bisa berprestasi. 
Selain dari semangat mereka yang menyadarkan dan memotivasi saya untuk lebih bersukur dan lebih baik dalam belajar, kesuksesan Kang Agus dan kawan-kawan yang terjun untuk mengabdi dalam dunia pendidikan begitu menginspirasi saya. Mungkin belum ada kontribusi saya berikan terhadap dunia pendidikan. Saya mungkin hanya bisa mengungkapkan pemikiran dan kepedulian saya terhadap pendidikan  sebatas melalui tulisan maupun dengan film bertemakan pendidikan yang pernah saya garap, yang mungkin itu semua tidak berdampak langsung terhadap pendidikan kita.
Semua itu begitu menyadarkan saya. Betapa kita harus selalu bersyukur dan pandai mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Betapa kita harus memberikan kontribusi yang nyata, bukan hanya sekedar keluhan dan kritikan semata. Dan yang lebih penting, peristiwa dan cerita di atas menyadarkan saya, bahwa yang menjadi persoalan adalah bukan di mana tempat kita belajar, tetapi bagaimana kita belajar agar stigma penerus bangsa, bukan hanya sebuah kata tetapi benar-benar melekat pada diri kita .

By : Erlyn

0 komentar:

Posting Komentar